Langit sore berwarna jingga ketika Rian menerima pesan dari Anton, sahabatnya sejak SMA.
"Hei, Ri! Lagi di mana nih? Lama banget kita gak nongkrong bareng. Gimana kalau ketemu besok di warung kopi favorit kita?"
Rian tersenyum lebar. "Wah, Anton! Senang banget dengar kabar darimu! Besok bisa banget, jam berapa?"
"Sip! Jam 7 ya. Eh, Ri, pinjam dulu seratus dong. Buat ongkos sih, hehe. Nanti gue ganti kok pas ketemu."
Rian terdiam sejenak. Ia tahu Anton memang sering meminjam uang, dan tidak selalu dikembalikan tepat waktu. Tapi, Anton adalah sahabatnya. Rian tak ingin persahabatan mereka renggang hanya karena masalah uang.
"Oke lah, seratus. Nanti pas ketemu aja ya kita bicarakan."
Keesokan harinya
Rian dan Anton sudah duduk di warung kopi favorit mereka. Obrolan mengalir lancar, penuh tawa dan canda. Rian senang bisa melepas rindu dengan sahabatnya.
Namun, di tengah obrolan, Rian memberanikan diri untuk menyinggung soal uang pinjaman.
"Ton, gimana soal uang seratus kemarin? Ada kabar kapan bisa dikembalikan?"
Anton terdiam sejenak. Wajahnya sedikit memerah. "Eh, iya, Ri. Maaf ya, lagi agak susah nih. Gue usahakan minggu depan ya."
Rian mengangguk. "Oke, santai aja. Gue paham kok."
Seminggu kemudian
Rian belum menerima kabar dari Anton. Ia mencoba mengirim pesan, tapi tak dibalas. Rasa kecewa mulai muncul.
"Ah, Anton lagi-lagi," gumam Rian.
Dua minggu kemudian
Rian memutuskan untuk menelepon Anton. Nada dering telepon berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.
"Halo, Ri?" suara Anton terdengar terbata-bata.
"Ton, gimana soal uangnya? Gue mulai panik nih."
"Maaf banget, Ri. Gue lagi sakit. Uangnya udah gue siapin kok, besok pagi gue transfer ya."
Rian mendesah. "Oke lah, Ton. Gue tunggu ya."
Keesokan paginya
Uang seratus ribu akhirnya masuk ke rekening Rian. Rasa lega bercampur dengan kekecewaan.
"Ah, Anton. Sahabat memang sahabat, tapi utang tetaplah utang," gumam Rian dalam hati.
Beberapa bulan kemudian
Rian dan Anton kembali bertemu di warung kopi favorit mereka. Kali ini, Rian memutuskan untuk berbicara terus terang.
"Ton, jujur aja ya. Gue kecewa soal uang pinjamanmu. Gue harap kamu bisa lebih bertanggung jawab ke depannya."
Anton menundukkan kepalanya. "Maaf banget, Ri. Gue emang lalai. Gue janji gak bakal kayak gini lagi."
Rian menatap Anton lekat-lekat. "Gue harap kamu tepati janjimu, Ton. Persahabatan kita penting, tapi kepercayaan juga penting."
Anton mengangguk pelan. "Gue janji, Ri."
Beberapa tahun kemudian
Rian dan Anton masih bersahabat. Pengalaman pinjam-meminjam uang itu menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Persahabatan mereka pun semakin erat, diiringi dengan rasa saling percaya dan tanggung jawab.
Cerita ini menunjukkan bahwa menjaga silaturahmi memang penting, tapi bukan berarti kita harus mengabaikan prinsip-prinsip penting seperti kejujuran dan tanggung jawab. Persahabatan yang sehat dibangun atas dasar saling pengertian dan kepercayaan.
Posting Komentar